Wednesday, December 12, 2007

Efektifitas Subsidi BBM

Beberapa waktu belakangan ini kita sering mendengar istilah Sejahtera dan Pra Sejahtera, dimana hal ini dikaitkan dengan adanya bantuan subsidi dari Pemerintah Pusat yang bernilai Rp. 100.000,-/ bulan untuk keluarga yang dikategorikan Pra Sejahtera. Mungkin bagi sebagian orang yang mampu, nilai diatas tidaklah seberapa. Namun bagi penduduk yang dikategorikan Pra Sejahtera, nilai Rp. 300.000,-/3 bulan sangatlah membantu. Beragam hal bisa dilakukan dengan uang tersebut dan dianggap sebagi rejeki “Tiban” selayaknya mendapatkan durian runtuh.

Dalam hal ini Pemerintah minimbang bahwa dengan diberikannya subsidi ini akan membamtu meringankan beban penduduk akibat kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) yang nilainya lumayan fantastis. Namun dalam prakteknya dilapangan, banyak kendala yang menjadikan pemberian subsidi ini menjadi Pro dan Kontra. Pastinya hal ini menjadi lumrah jika ditanggapi dengan bijaksana dan kepala dingin.Namun kadangkala hanya gara-gara berselisih masalah ini, kultur kekeluargaan yang sudah terbangun sekian puluh tahun akan hilang dalam sekejab.

Pro atau setuju bagi yang terdaftar dan mendapatkan subsidi, sehingga ybs merasa dapat durian runtuh. Kontra bagai yang tidak terpilih dan merasa masuk dalam kategori Pra Sejahtera, namun tidak juga mendapatkan subsidi. Tidak sedikit yang akhirnya menjadikan permusuhan, antara warga yang tidak terdaftar namun mengaku Pra Sejahtera dengan aparat desa (dalam hal ini RT). Dan juga adanya warga yang seharusnya tidak mendapatkan subsidi ini namun ikut menikmati subsidi karena faktor “kedekatan” dengan aparat desa atau bahkan masih merupakan family. Hal ini tidak hanya terjadi pada masyarakat Bagelen, namun juga masyarakat dihampir seluruh pelosok negeri tercinta ini.

Banyak pertanyaan yang akhirnya muncul berkaitan dengan pemberian subsidi ini, antara lain :
- Benarkah dengan pemberian Subsidi BBM ini efektif untuk meningkatkan “kesejahtaraan penduduk ?
- Apakah sudah benar mekanisme pemilihan penduduk yang menerima subsidi ?

Dengan pemberian cash money / uang tunai yang dianggap sebagi “rejeki tiban”, banyak dari penduduk yang langsung memanfaatkan untuk keperluan membayar sekolah, renovasi rumah dan bahkan ada yang digunakan untuk keperluan yang tidak semestinya seperti membeli TV, Radio dan bahkan perhiasan. Hanya sekian persen saja yang digunakan untuk keperluan yang bersifat produktif, semisal membeli ternak, unggas atau modal usaha.

Kenapa bisa terjadi ? Faktor merasa akan ada lagi subsidi tersebut dijadikan alas an mengapa banyak dari penduduk yang tidak menggunakan dana dari subsidi BBM ini dijadikan sebagai modal usaha. Memang nilainya tidaklah berjuta-juta, namun setidaknya kalau penduduk “creative” pasti akan melihat peluang usaha yang menjanjikan.

Sebagai ilustrasi saja dan mempunyai peluang untuk kedepannya adalah dengan beternak kambing. Apakah dengan modal Rp. 300.000,-/ 3 bulan cukup dijadikan modal awal. Jawaban ya....dengan nilai uang diatas, kita bisa belikan anakan kambing dengan harga Rp. 200.000,- s.d Rp. 250.000,-. Tergantung kita ingin yang bisa dijual kembali atau ingin kita kembang biakkan. Pengalaman ini sudah dijalankan oleh keluarga saya dan alkhamdulillah berhasil sampai bisa menyekolahkan saya dan bekerja seperti saat ini.

Sehingga dalam pemberian subsidi BBM ini akan lebih efektif jika pemerintah memberikan dalam bentuk pinjaman lunak agar bisa dikembangkan. Hal ini sudah terbuki dengan keberhasilan Bangladesh dengan Grameen Bank milik M Yunus yang dapat meningkatkan kesejahteraan warga miskin di Bangladesh menjadi warga produktif dan tentunya bisa menaikkan PDB mereka.

Tahun 1986, Pemerintah Orde Baru membagikan kambing gratis kepada warga. Kebetulan keluarga kami termasuk salah satu yang mendapatkan bantuan tersebut. Perjanjian pembagian kambing tersebut adalah, jika kambing tersebut melahirkan maka anak dari kambing tersebut (1 ekor) akan dikembalikan ke pemerintahan desa untuk dibagikan kepada warga lain yang belum menerimanya. Dari tahun-ketahun, kambing yang kami pelihara berkembang dengan baik dan sudah menghasilkan uang yang lumayan, sehingga bisa mencukupi kebutuhan menyekolahkan saya. Hal ini tentunya positif karena pemerintah tidak hanya memberikan ”ikan” namun memberikan ”kail” agar warga juga bisa ikut andil dalam kesuksesan.

Pola ini menurut saya lebih cocok untuk saat ini, dibandingkan dengan pemberian dalam bentuk tunai. Dan......munkinkah kita bisa mempelajari pola-pola yang diterapkan oleh M Yunus dengan Grameen Banknya....untuk diaplikasikan di Indonesia ini....Semoga

No comments:

Post a Comment